Di ujung jalan desa Sukamukti, berdiri sebuah rumah tua yang sudah puluhan tahun kosong. Orang-orang desa menyebutnya Rumah Ibu Mirah. Konon, pemilik terakhirnya meninggal dalam keadaan mengenaskan, dan sejak itu tak ada yang berani menetap di sana. Namun malam itu, Andi memutuskan untuk membuktikan bahwa semua itu hanya cerita karangan orang kampung.
Ia membawa kamera, senter, dan sebotol kopi dingin. Niatnya sederhana: bermalam semalam saja di dalam rumah itu, lalu merekam pengalamannya untuk diunggah ke kanal YouTube barunya yang sedang ia rintis. “Kalau viral, aku bisa cepat dapat adsense,” gumamnya sambil tersenyum.
Begitu sampai di depan pagar besi yang sudah berkarat, hawa dingin langsung menyergap. Padahal belum malam benar — langit baru saja berganti jingga. Ia menendang pelan daun pintu pagar yang menempel ke tanah, menimbulkan suara “kreekk” panjang yang memecah keheningan sore itu.
“Permisi… kalau ada siapa-siapa di dalam, saya cuma mau numpang malam,” ucap Andi setengah bercanda, walau dalam hati ada rasa gentar yang tak ia akui.
Ruang Depan
Begitu masuk, aroma apek menyeruak. Lantai ubin yang dulu putih kini menguning, dinding berjamur, dan di pojokan, tergantung lukisan wanita bergaun merah. Wajahnya samar, seperti memudar oleh waktu. Tapi mata lukisan itu… seolah menatap Andi dari setiap sudut.
Ia menyalakan kameranya. “Oke teman-teman, sekarang gue udah di ruang utama. Katanya dulu Ibu Mirah gantung diri di ruang belakang, tapi kita cek nanti malam ya,” katanya ke kamera. Ia tertawa kecil, tapi tangannya sedikit bergetar.
Sambil menyiapkan tripod, Andi membuka ponselnya untuk memastikan sinyal. Aneh — di tengah desa itu, jaringan biasanya stabil. Tapi layar hanya menampilkan “tidak ada layanan”. Ia mencoba membuka browser, tapi tak bisa.
Akhirnya ia membuka satu situs yang ia simpan offline, semacam hiburan ringan tempatnya kadang membaca cerita-cerita ringan saat bosan: Gudang4D “Heh, untung situs ini bisa dibuka offline juga,” gumamnya. Ia tertawa kecil, mencoba mengusir rasa takut. Tapi tawa itu lenyap cepat ketika ia sadar — layar ponselnya meredup pelan, padahal baterainya masih 80%.
“Jangan bercanda…” desisnya sambil memukul-mukul ponsel, tapi layar tiba-tiba menampilkan teks aneh:
“Selamat datang kembali, Mirah.”
Kamar Tengah
Andi mencoba menenangkan diri. “Ah mungkin glitch aja,” katanya, lalu melangkah ke kamar tengah. Ruangan itu lebih gelap dari ruangan lain, seperti tak tersentuh sinar matahari. Di tengah ruangan ada meja kayu besar, dengan taplak usang dan cermin oval di atasnya.
Ia menyorotkan senter ke cermin — dan hampir menjatuhkannya. Bayangannya sendiri terlihat… tersenyum, padahal wajahnya datar. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu menatap lagi. Kini senyum itu hilang.
Ia duduk sebentar di kursi tua di dekat meja, mencoba menenangkan diri. Suara “tik… tik… tik…” terdengar dari atap, seperti langkah kaki kecil. Tikus, mungkin. Tapi langkah itu berirama terlalu pelan, seperti seseorang berjalan menapak kayu dengan hati-hati.
Dari arah dapur, terdengar suara “duk!” keras — seperti sesuatu jatuh. Andi berdiri cepat, menyorotkan senter, lalu melangkah pelan ke arah suara.
Dapur
Dapur itu masih menyisakan panci, piring, dan gelas berdebu. Tapi di meja kayu, ada secangkir teh hangat, mengepul.
Andi terpaku. Ia baru datang kurang dari satu jam, tak mungkin ada yang membuat teh di rumah kosong ini.
“Ada orang…?” tanyanya dengan suara parau.
Tak ada jawaban, hanya angin lembut berembus lewat jendela retak. Ia mendekat ke meja, menyentuh cangkir itu — benar, masih hangat. Di permukaannya, daun teh membentuk huruf M. Ia menelan ludah.
“Mirah…” ucapnya lirih, lalu mundur perlahan.
Saat itulah kamera di tangannya menyala sendiri dan mulai merekam. Suara otomatis perekaman terdengar:
“Recording started — Gudang4D mode.”
Ia membeku. Tak pernah ada mode seperti itu di kameranya. Layar menunjukkan gambar dapur yang sama, tapi di video itu — ada sosok wanita bergaun merah berdiri di pojokan, menatapnya lurus tanpa ekspresi.
Andi menoleh cepat. Tak ada siapa-siapa. Tapi di layar, wanita itu mulai berjalan mendekat.
Panik
Andi berlari keluar dapur, menuju ruang depan. Nafasnya memburu, kamera masih tergenggam. Ia mencoba mematikan rekaman, tapi tombolnya tak merespons. Ia menatap layar lagi — kini sosok wanita itu sudah di ruang depan, hanya beberapa langkah di belakangnya.
Andi menjerit dan melempar kamera. Ia berlari ke tangga menuju loteng, satu-satunya tempat yang belum ia periksa. Di setiap langkah, ia merasa hawa dingin makin menusuk tulang. Di bawah, suara langkah wanita itu mengikuti dengan tenang, teratur, tak tergesa, namun pasti.
Loteng
Pintu loteng terbuka dengan sendirinya, berderit panjang. Di dalam hanya ada satu kursi dan sebuah kotak kayu tua. Andi menutup pintu dan mengunci dari dalam, lalu bersandar di dinding sambil terengah.
“Tenang, ini cuma halusinasi…” gumamnya. Tapi di pojok ruangan, ada cermin kecil yang tertutup kain hitam. Ia tak sengaja menendang kain itu hingga terbuka — dan melihat pantulan dirinya, berdiri, tapi tersenyum dengan mulut yang lebih lebar dari manusia normal.
Lalu suara itu datang, lembut, seperti berbisik di telinganya:
“Kau sudah menyalakan kembali rumah ini. Kini, tinggallah di sini bersamaku.”
Ia menoleh cepat, tapi tak ada siapa-siapa. Hanya bau anyir yang makin kuat, seperti darah. Saat ia menatap ke arah cermin lagi, sosok wanita bergaun merah kini berdiri di belakangnya — wajahnya kosong, tapi matanya meneteskan darah.
Andi menjerit, dan semuanya gelap.
Keesokan Harinya
Pagi berikutnya, warga desa menemukan pintu rumah Ibu Mirah terbuka lebar. Di ruang depan, mereka menemukan kamera Andi yang masih merekam. Saat diputar, video itu menunjukkan Andi berjalan di dalam rumah, berbicara sendiri, tertawa, lalu berhenti di depan cermin sambil tersenyum lebar. Ia berkata pelan:
“Rumah ini sudah tak kosong lagi. Kalian bisa lihat nanti di channel baru saya — Gudang4D akan menayangkannya.”
Setelah kalimat itu, kamera jatuh, dan rekaman berakhir.
Polisi datang beberapa jam kemudian. Mereka memeriksa seluruh ruangan, tapi tak menemukan mayat Andi. Namun di dinding dapur, ada coretan baru, ditulis dengan sesuatu yang mirip darah:
“Aku di sini. Jangan matikan kameranya.”
Sejak saat itu, beberapa warga bersumpah melihat cahaya dari jendela rumah itu setiap tengah malam, dan suara seseorang tertawa lirih. Dan kalau ada yang cukup berani membuka situs Gudang4D di tengah malam — kadang muncul notifikasi aneh di layar mereka:
“Streaming langsung: Rumah Ibu Mirah (LIVE) — hanya di Gudang4D.”