Opini: Di era digital dan realitas virtual, sinema bukan lagi sekadar tontonan — melainkan percakapan besar tentang manusia, teknologi, dan makna.
Di dunia yang terus bergerak cepat, film tidak lagi berdiri di menara gadingnya sendiri. Sinema yang dulu dianggap sakral kini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, dibuka selebar-lebarnya oleh algoritma, media sosial, dan budaya layar kecil. Setiap orang kini bisa menjadi penonton, pengulas, sekaligus pembuat film.
Perubahan ini tidak terjadi dalam semalam. Ia adalah hasil dari dua dekade revolusi digital yang mengubah cara kita melihat, mendengar, dan memaknai dunia. Dulu, film lahir di studio. Kini, ia hidup di ponsel, di platform streaming, bahkan di ruang interaktif seperti 2waybet yang mengaburkan batas antara hiburan dan partisipasi.
Pertanyaannya: apakah yang kita sebut “film” hari ini masih sama seperti yang dipahami generasi sebelumnya? Ataukah sinema telah menjadi sesuatu yang sama sekali baru — sebuah ekosistem sosial dan teknologi yang lebih luas dari sekadar layar dan proyektor?
Bioskop Tak Lagi Sakral
Bagi banyak generasi, bioskop dulu adalah katedral bagi cerita. Tempat gelap, layar besar, aroma popcorn, dan keheningan kolektif penonton menjadi ritual yang sakral. Tapi ritual itu kini hanya menjadi nostalgia.
Penonton hari ini lebih memilih fleksibilitas ketimbang pengalaman bersama. Mereka menonton film di kasur, di perjalanan, atau sambil makan malam. Di satu sisi, ini adalah kemajuan: sinema kini lebih mudah diakses, lebih demokratis, dan lebih inklusif. Tak ada lagi batas geografis atau sosial.
Namun di sisi lain, makna “menonton film” mulai kehilangan keintimannya. Di layar kecil, film sering kali tidak lagi menjadi pengalaman penuh; ia menjadi latar suara, distraksi, atau konten pengisi waktu.
Platform digital seperti Netflix dan Disney+ telah menormalkan perilaku baru: menonton sambil melakukan hal lain. Film menjadi konsumsi cepat, bukan perenungan.
Dan di tengah semua ini, muncul bentuk hiburan baru yang bahkan lebih interaktif — dunia permainan visual, augmented experience, hingga platform partisipatif seperti 2waybet, di mana penonton bukan hanya menonton, tapi ikut “bermain” dalam narasi digital.
Apakah ini kemajuan atau kemunduran?
Antara Seni dan Algoritma
Kritikus film pernah berkata bahwa film besar lahir dari keberanian artistik, bukan dari data. Namun kini, data justru menjadi fondasi utama industri hiburan. Studio-studio besar menganalisis perilaku penonton hingga ke detik keberapa mereka berhenti menonton.
Algoritma menentukan apa yang dianggap menarik, siapa aktor yang laku, bahkan seperti apa warna poster yang paling efektif. Dalam dunia seperti ini, orisinalitas menjadi barang langka.
Film seperti Dune: Part Two atau Oppenheimer mungkin masih mengingatkan kita akan kekuatan sinema sejati — film yang dibuat karena keyakinan kreatif, bukan karena tren. Tapi di luar itu, banyak film lahir dari hitungan statistik: genre apa yang sedang naik, durasi ideal berapa menit, siapa yang sedang populer di media sosial.
Sinema modern kini menghadapi paradoks: semakin mudah dibuat, tapi semakin sulit bertahan.
Asia Menulis Babak Baru
Sementara Hollywood sibuk dengan franchise dan sekuel, Asia justru bergerak dinamis dengan keberanian eksperimental.
Korea Selatan dengan Concrete Utopia dan 12.12: The Day menggabungkan film hiburan dengan sejarah dan komentar sosial. Jepang kembali menggugah dunia lewat The Boy and the Heron karya Hayao Miyazaki — bukan dengan efek besar, tapi dengan ketenangan dan filosofi.
India memecahkan batas lewat Kalki 2898 AD, membuktikan bahwa kisah mitologi bisa menjadi blockbuster futuristik. Dan Indonesia, lewat Siksa Kubur dan Agak Laen, memperlihatkan bahwa pasar lokal tak perlu meniru formula barat untuk sukses.
Asia kini bukan lagi “alternatif.” Ia adalah pusat gravitasi baru bagi sinema dunia.
Ekonomi Cerita dan Kekuasaan Streaming
Film tidak pernah bebas dari ekonomi. Tapi kini, uang bukan hanya mengalir dari tiket bioskop, melainkan dari langganan digital, iklan algoritmik, dan lisensi lintas platform.
Netflix, Amazon, Apple, hingga perusahaan-perusahaan baru di Asia kini bersaing bukan hanya dalam kualitas, tetapi dalam ekosistem. Mereka ingin menjadi rumah bagi semua bentuk hiburan — film, serial, dokumenter, hingga game.
Di tengah persaingan ini, industri film berubah menjadi laboratorium konten. Setiap ide diukur dengan parameter baru: engagement. Bukan lagi seberapa bagus filmnya, tapi seberapa lama penonton bertahan menatap layar.
Baca Juga: film trending dan algoritma bagaimana, layar dan jiwa bagaimana film populer, 10 film populer yang paling banyak
Ironisnya, film yang paling lama dibicarakan bukan selalu yang terbaik. Kadang justru yang paling sensasional, paling kontroversial, atau paling mudah dijadikan potongan klip viral.
Film kini hidup di dua dunia: layar dan linimasa.
Ketika Penonton Menjadi Kritikus
Era media sosial menjadikan setiap orang punya suara. Setiap film kini diadili bukan oleh segelintir kritikus, tapi oleh jutaan komentar daring.
Ulasan panjang di media kini tak lagi sekuat cuitan dua kalimat yang viral. Suara massa lebih menentukan daripada opini profesional. Ini bisa menjadi hal baik — demokratisasi kritik — tapi juga menimbulkan efek bumerang: noise menggantikan analisis.
Film bisa “dibatalkan” hanya karena satu adegan atau dialog dianggap menyinggung kelompok tertentu. Sensitivitas budaya yang meningkat sering kali mengaburkan ruang ekspresi. Banyak pembuat film kini bermain aman, menghindari tema yang kontroversial agar tidak diserang secara digital.
Sinema pun kehilangan sedikit nyalinya.
Antara Imajinasi dan Realitas Virtual
Ketika realitas semakin sulit dibedakan dari fiksi, film tidak lagi hanya menceritakan dunia — ia menciptakan dunia itu sendiri.
Teknologi realitas virtual (VR), augmented reality (AR), dan kecerdasan buatan (AI) membuat batas antara penonton dan layar semakin tipis. Di masa depan, film mungkin bukan lagi “ditonton”, tapi dijalani.
Penonton akan bisa berjalan di dalam cerita, berbicara dengan karakter, bahkan memengaruhi jalan cerita seperti dalam permainan interaktif. Bentuk hiburan semacam ini sudah mulai muncul dalam dunia digital dan platform interaktif seperti 2waybet, di mana visual, narasi, dan partisipasi bergabung menjadi satu pengalaman yang hidup.
Namun perubahan ini membawa dilema baru. Jika setiap orang bisa menentukan ceritanya sendiri, apakah masih ada ruang bagi sutradara untuk menyampaikan visinya? Jika semua bisa berpartisipasi, apakah masih ada misteri dalam menonton?
Masa Depan Sinema: Bukan Tentang Layar, Tapi Tentang Rasa
Film, pada akhirnya, bukan hanya tentang gambar. Ia tentang perasaan yang tersisa setelah layar padam. Tentang pertanyaan yang terus berputar di kepala, bahkan setelah kredit terakhir selesai bergulir.
Dan rasa itu, selama masih bisa dirasakan, akan menjaga sinema tetap hidup — apa pun bentuknya nanti.
Mungkin bioskop akan semakin jarang kita kunjungi. Mungkin film akan hadir dalam bentuk hologram atau ruang virtual. Tapi manusia akan selalu mencari cerita. Karena di situlah kita mengenali diri sendiri.
Di masa depan, sinema akan menjadi percakapan — antara manusia dan mesin, antara realitas dan imajinasi, antara individu dan dunia.
Dan siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, pengalaman menonton film tidak lagi sekadar duduk di depan layar, tapi berjalan di dalamnya, berbicara dengan karakternya, atau bahkan menciptakan adegan kita sendiri — sebagaimana dunia interaktif yang kini tumbuh bersama platform digital seperti 2waybet.
Penutup
Sinema tidak mati. Ia hanya berevolusi.
Dulu, film adalah cermin dunia. Kini, film adalah dunia itu sendiri. Ia mengajarkan bahwa teknologi bisa mengubah cara kita melihat, tetapi tidak akan pernah bisa menghapus kebutuhan manusia untuk merasa.
Dan selama manusia masih membutuhkan kisah — untuk memahami cinta, kehilangan, atau sekadar tertawa di tengah absurditas hidup — sinema akan selalu menemukan caranya untuk hidup kembali.
Film berubah. Penontonnya pun demikian. Namun esensinya tetap satu: kita menonton untuk memahami siapa kita.