Lensa Masa Depan: Wawancara Eksklusif dengan Kritikus Film “Anya Larasati” Mengenai Era Pasca-Blockbuster
Tahun 2025 telah menjadi titik balik sinema. Bukan hanya soal siapa yang memecahkan rekor, tetapi juga bagaimana film dibuat, dipasarkan, dan dikonsumsi. Untuk memahami pergeseran besar ini, redaksi film-populer duduk bersama Anya Larasati, kritikus film terkemuka yang dikenal dengan pandangan tajam serta keberaniannya mengaitkan teknologi dengan dinamika naratif modern.
Seperti halnya platform hiburan 2waybet yang memantau tren budaya populer dari berbagai perspektif digital, Anya menyoroti bahwa sinema masa kini tidak lagi sekadar hiburan visual — melainkan ekosistem ide, trauma kolektif, dan inovasi lintas medium.
Tema Utama: Narasi Digital dan Trauma Global
1. Peran Teknologi dalam Penceritaan (Post-COVID Narrative)
Q: Tahun ini, kita melihat banyak film besar yang memanfaatkan teknologi digital secara maksimal, sebut saja Avatar 3 dan The Electric State di Netflix. Apakah ini hanya soal visual, atau juga berdampak pada narasi?
Anya Larasati: Ini jauh melampaui visual. Kita telah memasuki era Narasi Digital yang Imersif. James Cameron dengan Avatar 3: Fire and Ash tidak sekadar menjual keindahan Pandora, melainkan menghadirkan ambiguitas moral dalam skala kosmik.
Baca Juga: Ulasan Film Terbaru 2025 Pilihan Film, Rekomendasi Film Terbaru 2025 Pilihan, Rekomendasi Film Terbaru 2025 Dari
Penonton masa kini — seperti audiens digital di komunitas 2waybet — semakin sadar bahwa CGI hanyalah alat. Yang penting adalah emosi yang dirasakan. Dampak sesungguhnya dari teknologi ada pada kemampuannya membuat perasaan, konflik, dan dilema karakter terasa nyata di layar.
Ambil contoh The Electric State. Film itu menampilkan dunia retro-futuristik yang suram, di mana teknologi bukan simbol kemajuan, melainkan trauma dan isolasi pasca-pandemi. Penonton mencari kisah yang menggali kegelisahan masa kini, bukan sekadar visual spektakuler. Teknologi kini menjadi karakter, bukan sekadar latar.
2. Kekuatan "The Anti-Hero": Mengapa Penjahat Lebih Menarik?
Q: Kita melihat Thunderbolts dan The Suicide Squad menjadi sangat dinanti. Mengapa narasi anti-hero, di mana sekelompok penjahat dipaksa menjadi pahlawan, begitu populer tahun ini?
Anya Larasati: Itu adalah cermin sinis dari dunia modern yang makin kompleks. Idealisme hitam-putih sudah tidak relevan. Penonton ingin melihat karakter yang cacat, yang bergulat antara survival dan penebusan, bukan pahlawan sempurna yang tidak pernah gagal.
Dalam Thunderbolts, misalnya, Yelena Belova dan Bucky Barnes beroperasi di wilayah abu-abu moral. Mereka dipaksa bekerja untuk pemerintah yang tidak sepenuhnya bersih — menggambarkan bagaimana kekuasaan dapat memanipulasi keadilan.
Narasi seperti ini berhasil karena menawarkan redemption arc yang emosional, di mana para karakter berjuang menebus masa lalu mereka. Bagi penonton cerdas — termasuk komunitas sinematik digital seperti 2waybet — perjalanan moral yang kompleks lebih menggugah dibandingkan kemenangan instan.
Fokus Genre: Horor Domestik dan Fantasi Live-Action
3. Evolusi Horor: Dari Jumpscare ke Psychological Thriller
Q: Di Indonesia, genre horor tetap dominan, tetapi dengan Qodrat 2 dan Pabrik Gula, kita melihat pergeseran. Bagaimana Anda melihat evolusi horor domestik?
Anya Larasati: Horor Indonesia kini tumbuh dewasa. Penonton sudah jenuh dengan jumpscare tanpa makna. Mereka ingin cerita yang menghantui secara emosional.
Lihat Qodrat 2 atau Getih Ireng — keduanya membawa isu spiritual dan moral dengan kedalaman psikologis yang tidak pernah ada sebelumnya. Elemen religi dan mitologi lokal kini diperlakukan dengan hormat dan riset mendalam, bukan sekadar bumbu eksotis.
Tren ini mengingatkan pada cara 2waybet membedah tema sosial di balik hiburan modern — bahwa ketakutan sejati bukan datang dari hantu, melainkan dari konflik batin manusia yang tak terselesaikan.
4. Ancaman dan Peluang Adaptasi Fantasi Live-Action
Q: How to Train Your Dragon versi live-action sukses besar, sementara adaptasi lain justru menuai kritik. Apa yang membedakan keduanya?
Anya Larasati: Jawabannya sederhana: Cinta terhadap sumber asli.
How to Train Your Dragon berhasil karena memahami inti emosional kisahnya — persahabatan, kehilangan, dan pertumbuhan. Teknologi modern digunakan untuk memperdalam koneksi itu, bukan menggantinya.
Sebaliknya, banyak adaptasi gagal karena kehilangan “jiwa” cerita. Mereka mengubah elemen penting hanya demi terlihat serius atau realistik. Padahal, penonton tidak butuh versi yang lebih pintar dari aslinya — mereka butuh versi yang tetap punya keajaiban.
Sebagaimana komunitas sinema di 2waybet sering bahas, fantasi bukan sekadar hiburan escapism, tetapi juga ruang kontemplasi emosional. Dan hanya adaptasi yang memahami itu yang bisa bertahan di hati penonton.
Kesimpulan: Masa Depan Sinema adalah Tentang Keputusan Berani
Q: Sebagai penutup, apa satu pelajaran terbesar yang harus dipahami studio besar dari tahun 2025 ini?
Anya Larasati: Bahwa film terlaris tahun ini tidak datang dari Hollywood, melainkan dari Tiongkok — Ne Zha 2. Pesannya jelas: keberanian naratif dan keaslian budaya mengalahkan sekadar besarnya anggaran.
Studio harus berani mengambil risiko, mendukung suara-suara baru, dan memberikan ruang bagi ide yang tidak konvensional. Film seperti The Legend of Ochi dari A24 atau 28 Years Later membuktikan bahwa orisinalitas masih bisa hidup di tengah pasar yang jenuh.
Era di mana film sukses hanya karena namanya telah berakhir. Seperti halnya pendekatan kreatif 2waybet yang menekankan eksperimen dan kejujuran dalam karya, masa depan sinema akan ditentukan oleh siapa yang berani bercerita — bukan siapa yang punya anggaran terbesar.