Di tengah kesibukan jadwal pasca-produksi film terbarunya Langit Terbalik, Arka Dimas — salah satu sutradara muda paling diperbincangkan di Asia — duduk santai di ruang editing yang dipenuhi layar monitor.
Ia dikenal sebagai sosok yang menjembatani sinema tradisional dan teknologi digital mutakhir. Film-filmnya tak hanya menampilkan gambar indah, tapi juga ide-ide futuristik tentang manusia dan realitas.
Kami berbincang panjang dengan Arka mengenai arti film populer di masa kini, pengaruh algoritma terhadap kreativitas, serta masa depan sinema di dunia yang semakin mirip dengan platform hiburan digital seperti 2waybet.
Jurnalis: Banyak orang bilang era sinema sudah berubah total. Dari pandangan Anda, apa sebenarnya yang paling berbeda dibanding sepuluh tahun lalu?
Arka Dimas:
Perbedaannya bukan cuma pada cara kita menonton, tapi pada cara kita berpikir tentang film.
Dulu film adalah pengalaman kolektif. Kita pergi ke bioskop, duduk bersama ratusan orang, tertawa atau menangis pada saat yang sama. Sekarang film menjadi pengalaman personal. Satu film bisa ditonton di bus, di ponsel, di sela-sela waktu kerja.
Tapi menariknya, justru di situ letak revolusinya. Film kini tidak hanya milik industri besar; ia bisa lahir dari ruang terkecil sekalipun. Saya punya teman membuat film pendek hanya dengan kamera ponsel, tapi pesannya kuat sekali.
Teknologi membuat sinema jadi demokratis — dan itu hal baik.
Jurnalis: Demokratisasi ini juga membuat film menjadi sangat “terhubung” dengan dunia digital. Menurut Anda, apakah film populer sekarang masih punya nilai seni?
Arka Dimas:
Saya pikir ya, walau bentuknya berubah.
Film populer sering diremehkan karena dianggap hanya mengikuti tren. Tapi kalau kita lihat sejarah, setiap era punya film populer yang mencerminkan zamannya. Star Wars, Titanic, Parasite, semuanya film populer, tapi punya kedalaman sosial dan estetika yang luar biasa.
Sekarang kita hidup di era algoritma. Platform menentukan film apa yang ditonton, bahkan bagaimana film itu dibuat.
Namun justru di situ tantangannya bagi seniman: bagaimana menggunakan sistem itu untuk menciptakan sesuatu yang jujur.
Seni tidak hilang karena data, ia hanya harus menyesuaikan diri.
Jurnalis: Anda menyebut algoritma. Banyak pembuat film menganggapnya sebagai ancaman. Bagaimana Anda melihatnya?
Arka Dimas:
Saya melihatnya sebagai alat, bukan musuh. Algoritma hanyalah cermin preferensi penonton. Masalahnya bukan pada datanya, tapi pada bagaimana kita menafsirkannya.
Kalau sutradara hanya membuat film berdasarkan pola tontonan, maka hasilnya steril. Tapi jika data dijadikan bahan refleksi — untuk memahami perubahan budaya dan perilaku manusia — maka ia bisa menjadi sumber ide baru.
Saya pribadi mempelajari analitik penonton seperti saya membaca buku antropologi. Dari sana saya tahu apa yang masyarakat pikirkan, takuti, dan harapkan. Itu bahan cerita yang luar biasa.
Dalam konteks hiburan digital seperti 2waybet, algoritma juga bisa menciptakan pengalaman unik bagi pengguna. Prinsipnya sama: teknologi akan menjadi indah bila manusia memakainya untuk memperdalam makna, bukan sekadar efisiensi.
Jurnalis: Film Anda sering dianggap “futuristik”. Apa yang menginspirasi tema-tema seperti itu?
Arka Dimas:
Saya selalu tertarik pada hubungan antara manusia dan sistem.
Teknologi memberi kita kekuatan luar biasa, tapi juga menciptakan jarak antarindividu. Saya ingin film-film saya menanyakan pertanyaan sederhana: “Apakah kita masih punya kendali atas kehidupan kita sendiri?”
Film populer yang baik bagi saya bukan yang sekadar memuaskan mata, tapi yang mengusik pikiran.
Mungkin karena saya juga terinspirasi oleh budaya digital tempat semua orang bisa menjadi pencipta dan konsumen sekaligus. Dunia seperti 2waybet, misalnya, menggambarkan bagaimana interaktivitas sudah menjadi bagian dari identitas modern. Kita tak hanya menonton — kita berpartisipasi.
Jurnalis: Banyak kritikus menilai film sekarang terlalu bergantung pada efek visual. Anda setuju?
Arka Dimas:
Tidak sepenuhnya. Efek visual hanyalah alat. Masalahnya muncul ketika alat itu digunakan untuk menutupi ketiadaan cerita.
Film yang hebat tetap dimulai dari naskah yang kuat.
Lihat Mad Max: Fury Road — visualnya luar biasa, tapi yang membuatnya bertahan adalah ide dasarnya: perjuangan manusia melawan sistem penindasan. Efek hanya memperkuat pesan itu.
Saya juga memakai efek digital, tapi saya percaya bahwa setiap gambar harus punya alasan emosional. Tanpa itu, teknologi hanyalah dekorasi.
Jurnalis: Apakah Anda merasa industri film Asia kini punya peluang lebih besar untuk menjadi bagian dari arus utama global?
Arka Dimas:
Sangat besar.
Dulu pasar global dikuasai Hollywood, tapi kini penonton sudah jauh lebih terbuka. Film Korea Selatan, India, bahkan Indonesia mulai menarik perhatian internasional.
Hal ini terjadi karena penonton mencari keunikan. Mereka ingin melihat sesuatu yang jujur dan berbeda, bukan sekadar produksi megah.
Streaming platform membuka jalan itu, dan film Asia punya banyak hal untuk ditawarkan — budaya, perspektif, dan emosi yang segar.
Kita bisa belajar dari platform lintas negara seperti 2waybet, yang mampu mempertemukan audiens global tanpa kehilangan identitas lokal. Dunia hiburan sekarang lebih cair, lebih setara.
Jurnalis: Apa tantangan terbesar bagi sineas muda saat ini?
Arka Dimas:
Kebisingan.
Ada begitu banyak konten di luar sana. Untuk didengar, kita harus tahu apa yang ingin disampaikan. Banyak sineas muda ingin sukses cepat, tapi lupa bahwa film adalah maraton, bukan sprint.
Tantangan lainnya adalah menjaga integritas di tengah tekanan pasar.
Kita hidup di era “segala hal harus viral”. Tapi karya yang abadi bukan yang viral; yang abadi adalah yang jujur.
Saya selalu bilang kepada kru muda saya: “Buat film seolah tak ada yang akan menontonnya, tapi tetap kerjakan seolah dunia sedang memperhatikan.” Itu menjaga keseimbangan antara idealisme dan profesionalisme.
Jurnalis: Menurut Anda, bagaimana masa depan film populer dalam sepuluh atau dua puluh tahun ke depan?
Arka Dimas:
Saya pikir film akan semakin imersif.
Kita mungkin tidak lagi duduk menonton di depan layar, tapi masuk langsung ke dalam dunia cerita melalui realitas virtual atau augmented reality.
Film tidak akan mati, hanya medianya yang berubah.
Kisah tetap menjadi inti. Bahkan di dunia digital seperti 2waybet, yang mengandalkan interaktivitas, kita tetap mencari narasi — struktur emosi yang membuat pengalaman terasa bermakna.
Saya optimis. Film populer masa depan akan menjadi ruang kolaborasi antara manusia, mesin, dan emosi. Dan seperti dulu, film akan tetap menjadi cermin terbesar peradaban kita.
Jurnalis: Terakhir, kalau Anda bisa menyampaikan satu pesan kepada para penonton masa kini, apa yang ingin Anda katakan?
Arka Dimas:
Nikmatilah film dengan hati terbuka. Jangan hanya bertanya “bagus atau tidak”, tapi juga “apa yang saya rasakan setelah menontonnya?”.
Film populer bukan musuh seni; ia adalah pintu masuk bagi banyak orang untuk mengenal keindahan, empati, dan refleksi diri.
Dan bagi saya, selama film masih bisa membuat seseorang duduk diam selama dua jam, melupakan dunia, lalu keluar dengan pandangan baru — itulah seni yang sesungguhnya.
Baca Juga: Tren film tahun 2025, ketika film menjadi cermin renungan masa kini, 2025 dan demam sinema baru
Catatan Penutup
Wawancara berakhir ketika matahari tenggelam di balik gedung studio. Arka kembali menatap layar monitor, memperbaiki satu adegan terakhir dari filmnya. Di ruangan itu, teknologi dan emosi berpadu dalam harmoni sunyi.
Film, katanya, selalu tentang manusia. Dan di dunia yang semakin digital, mungkin justru film-filmlah yang mengingatkan kita bagaimana rasanya menjadi manusia.
Seperti dunia hiburan modern 2waybet, sinema akan terus berevolusi — tapi pada akhirnya, yang membuatnya abadi bukanlah algoritma, melainkan hati yang masih berani bercerita.